Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Profil Pengrajin Rotan Tegalwangi Cirebon

 


Di antara penduduk Desa Tegalwangi ada sebagian kecil yang mengadakan kehidupan keluarga dari luar kegiatan kerajinan rotan. Walaupun mereka relatif mengenal kegiatan pengrajin rotan di desanya, namun mereka lebih menggantungkan hidupnya pada pendapatan sektor informal lainnya, seperti sebagai tukang kayu, tukang batu, tukang cukur, tukang jahit, dan jasa jualan makanan. 

Pak Slamet berumur 28 tahun dan berlatar pendidikan SD, bertahan hidup dengan keluarganya dari berbagai kegiatan informal. Jasa yang dapat di tawarkan Pak Slamet, lebih mengandalkan pada tenaga fisiknya. Lelaki yang bertinggi badan sekitar 160 cm dan berkulit agak hitam mulai bekerja sebagai buruh macul di desanya. Bekerja sebagai buruh macul dijalani sejak ia berumur 16 tahun. Ketika itu, ia memperoleh upah kerja sebanyak Rp. 1.500/hari. Sebelum ia menikah, perolehan upah kerja tersebut. sebagian digunakun untuk membantu kedua 0rang tuanya. Ilunyn sebugian upah kerja digunakun untuk keperluan sendiri, seporti untuk membeli pakaian. Perlu diketahui di sini bahwa, Slumet udaluh unak sulung dulam keluarganya yang berasal duri 'I‘ogal la empat bersaudara, semuanya laki-laki. Sebagai anak sulung, tenaganya sangat dibutuhkan oleh orang tuanya. Olch karena itu, jika tiduk ikut membantu orang tuanya membuat tahu, ia menanam ketela atau gambas (sejenis labu) pada kebun orang tuanya. Selain itu, ia bekerja sebagai buruh macul. 

Slamet pada dasarnya adalah sosok pemuda yang tidak cepat puas dengan bekerja sebagai buruh macul. Oleh karena itu, ia mencoba mencari peluang kerja di luar pertanian. Lapangan kerja sektor informal yang dapat diperoleh adalah sebagai pembuat kerupuk. Perusahaan kerupuk tempat kerjanya berada tidak jauh dari Desa Tegalwangi. Pekerjaan itu ia peroleh dari seorang familinya. Sebagai pembuat kerupuk, di perusahaan kerupuk ternyata ia hanya di gaji 20.000/bu1an. Walaupun makan dan tidur di tanggung oleh majikan, akan tetapi upah itu terlalu sedikit. Pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Pada hal ia juga berkepentingan membantu orang tua. 

Slamet bekerja di perusahaan kerupuk sempat bertahan sampai 3 tahun. Setelah itu ia keluar dengan harapan bisa berwiraswasta. Kemudian ia berusaha mencari pekerjaan lain. Sementara belum memperoleh pekerjaan tetap ia bekerja sebagai penarik becak. Menurutnya menarik becak lebih bebas dan bisa dilakukan sambil mencari pekerjaan lain. Ia berusaha bekerja sampai malam, sehingga dapat memiliki sedikit tabungan. 

Rupanya kesempatan menunggunya, sewaktu dia menarik becak, dia berkenalan dengan penjaja bakso. Pada akhirnya Slamet pindah tempat menjadi satu pondok dengannya. Di pondok itu sambil menarik becak, ia kadang-kadang membantu pekerjaan temannya, seperti membeli bahan-bahan bakso di pasar, membuat bakso dan kadang-kadang ikut menjajakannya. Dalam hal ini, ia tidak diberi upah khusus atas jasa bantuan yang diberikan. Melalui awal kerja "membantu" ini ia belajar melaksanakan pola kerja sebagai penjaja bakso dan mengenal lingkungannya yang baru. Ia mulai menyesuaikan diri dengan lingkungan pasar sebagai tempat berbelanja, lingkungan tempat menjajakan bakso, dan cara menjalin hubungan dengan pelanggan. Proses ini tidak berlangsung lama, hanya sekitar 3 bulan. 

Setelah merasa mampu, barulah dia meninggalkan pekerjaan pokoknya sebagai penarik becak. Dia berusaha menjadi penjaja bakso yang mandiri dengan modal sendiri. Modal tersebut diperolehnya dari hasil tabungan yang dia kumpulkan sedikit demi sedikit sewaktu ia menarik becak. Modal tersebut digunakan untuk untuk membeli gerobak, bahan-bahan bakso, seperti daging, tahu, darah ayam, daun sawi, daun seledri, daun bawang, cabai, saus dan bawang goreng. 

Waktu itu dia menentukan lokasi menjajakan baksonya di sekitar Desa Tegalwangi. Menurutnya, di daerah itu cukup banyak pembeli, yaitu para pengrajin dan atau buruh pabrik kerajinan rotan yang ramai setiap hari. Mula-mula ia sering rugi, karena kadang-kadang dagangan tidak habis. Selain itu juga disebabkan ada pelanggan yang berhutang dan ada pula pembeli yang tidak mau membayar. Namun setelah mampu beradaptasi dan dia sudah dikenal banyak orang, barulah dia memperoleh hasil yang diharapkan. Hasil ini dapat menopang kebutuhan hidupnya sehari-hari. 

Setelah yakin dengan pekerjaannya, maka tahun 1994 dia menikah dan bertempat tinggal di Desa Tegalwangi. Istri berasal dari Tegal yang kebetulan bekerja sebagai buruh industri rotan di Desa Tegalwangi. Di sela-sela istrinya membantu suaminya menyiapkan bahan dagangan baksonya, dia juga sering melakukan usaha kerajinan rotan di rumah. Keluarga slamet memiliki dua anak, yakni satu putra dan satu putri.

Dalam melakukan usahanya sebagai pedagang bakso di Desa Tegalwangi, Slamet mengaku bekerja sekitar 10 14 jam/hari. Kegiatan dimulai pukul 05,00 sampai dengan pukul 19.00WIB setiap hari. Tahap kegiatannya diawali dengan bangun pagi sekitar pukul 05.00 pagi. Pagi hari mereka pergi berbelanja. Setelah semua bahan terkumpul, maka kegiatan selanjutnya adalah meracik bahan-bahan dan mengolahnya hingga pukul 08.30 WIB. 

Kegiatan selanjutnya adalah membuat bakso. Bahan-bahan berupa daging giling, lada, sagu, vetsin, dan garam secukupnya dicampur hingga lumat. Kemudian dibentuk bulatan dengan menggunkan tangan dan alat bantu sendok. Bakso yang sudah terbentuk dimasukkan ke dalam satu wadah (panci baskom) yang telah diisi dengan air bersih, lalu direbus sampai matang. Setelah Matang ditiriskan pada saringan bambu, kemudian bakso dituang dalam tampah supaya dingin. 

Selanjutnya membuat kuah bakso. Bahan yang diperlukan adalah air, bawang putih, udang kering yang sudah digiling sampai halus, vetsin dan garam. Semua bahan itu dimasak bersama dalam sebuah kaleng sampai mendidih. Setelah itu menyeduh bihun dengan air panas lalu ditiriskan ke dalam saringan bambu. Kemudian, tahu diisi dengan sedikit daging lalu direbus sampai matang. Darah ayam juga direbus sampai matang dan ditiriskan airnya. Daun seledri dan bawang dirajang halus, cabai dihaluskan dan sayuran sawi dicuci lalu ditiriskan airnya. 

Setelah pekerjaan meracik dan merebus bakso serta bahan penunjang lainnya selesai, maka pekerjaan selanjutnya adalah membenahi bahan-bahan tersebut. Bakso, mie, bihun, tahu, dan sawi dimasukkan dan disusun rapi ke dalam gerobak. Bumbubumbu yang sudah dirajang dan sambal dimasukkan ke dalam botol-botol seperti botol kecap, cuka, vetsin, saos tomat, sambal saos atau kaleng-kaleng kecil disusun rapi. Selanjutnya kompor masak dan langseng yang berisi kuah bakso dimasukkan juga. Sebagian bakso dan tahu yang sudah matang dimasukkan ke dalam 

wadah tersendiri. Kemudian, ember kecil diisi dengan air bersih untuk mencuci peralatan yang kotor. 

Setelah menyiapkan barang dagangannya, penjaja bakso membersihkan diri dan berpakaian rapi. Sebelum berangkat dia masih sempat beristirahat sebentar sambil menikmati sarapan pagi yang disediakan oleh istrinya. Sekitar pukul 09.00, dia bergegas meninggalkan rumah untuk menjajakan dagangannya.

Jangkauan wilayah penjualannya mencakup wilayah Desa Tegalwangi. Kadang-kadang ia mangkal (berhenti) di lokasi pengrajin/industri rotan yang ramai pembeli sekaligus untuk beristirahat. Untuk memanggil pembeli atau pelanggan, biasanya dia memukulkan alat "ketokan" bambu yang berbunyi tok... tok.... Bunyi ini akan memberi isyarat bagi pelanggan atau pembeli. 

Saat yang dirasakan banyak pembeli adalah pukul 11.00 13.00 WIB. Harga setiap mangkoknya adalah Rp. 500 dan sampai Rp. 700. Perbedaan harga dikarenakan jumlah baksonya setiap mangkoknya tergantung pada selera pembeli. Kebanyakan pembeli adalah para pengrajin/buruh industi rotan yang sedang beristirahat. Di luar waktu tersebut, pembeli tidak menentu, kadang-kadang ramai tetapi ada kalanya sepi. Menjelang pukul 18.30 19.00, walaupun dagangnya belumhabis, dia bersiap-siap untuk pulang ke rumah. 

Setelah tiba di rumah, lalu mandi dan makan malam bersama keluarganya. Kegiatan selanjutnya, ialah menghitung hasil dagangan dan menyisihkan modal yang akan dibelanjakan besok paginya untuk membeli bahan-bahan yang akan dijajakan kembali besok harinya. Rata-rata keuntungan yang diperoleh sehari adalah sekitar Rp. 5.000 sampai dengan Rp. 10.000,

Demikianlah frofil pekerja informal di Desa Tegalwangi. Perkembangan usaha kerajinan/industri roran di Tegalwangi, sejalan dengan pertumbuhan tenaga kerja yang terserap. 

Pertumbuhan itu tidak saja berhubungan langsung dengan usaha kerajinan/industri rotan, tetapi juga terserap pada sektor lain yang memanfaatkan peluang dari situasi tersebut. Berbagai pekerja baru atau bidang usaha yang muncul akibat kemajuan industri kerajinan rotan di Tegalwangi, seperti penjual makanan, pedagang kelontong, tukang ojek, tukang becak, dan tukang jamu. Mereka itu secara tidak langsung menggantungkan kehidupannya pada perkembangan usaha kerajinan/industri rotan di Desa Tegalwangi.

Post a Comment for "Profil Pengrajin Rotan Tegalwangi Cirebon"